Tunggu-Tunggunya Menunggu

"Ada yang tak bisa dilawan dalam perkara waktu; menunggu."


Begitu temannya keluar rumah pagi tadi, tak ada yang bisa dia lakukan kecuali berdamai bersama waktu. Mengisi kekosongan dengan gadget yang menjadi satu-satunya teman kenyataan dan beragam masyarakat maya baginya. 

Terkadang sesekali ke luar rumah hanya untuk mengangkat jemuran atau menengok bunga yang dirawatnya sejak masih berdaun satu. Banyak bunga yang dirawatnya dari beberapa tangkai dan anak tanaman yang dengan harapan besar untuk menghadiahinya bunga bukan karena dia yang tak pernah mendapatkan dari temannya melainkan memanfaatkan ruang kosong teras. 

Tak jauh dari halaman depan, kamarnya menerimanya dengan segenap rasa yang dia pelihara ataupun sekedar dirasa tapi tak berkesan. Sesekali bunyi ayam menyadarkan kalau kesendirian itu tak pernah ada melainkan diciptakan sendiri. 

Atau sesekali jeritan anak kecil dengan mainan yang tidak ketemu, berlarian dan dimarahi ibunya atau kadangkala suara teriakan panggilan tetangga yang mau takziah. 

Selalu ada cerita baru dalam paruh perjalanan waktu. Menceritakan waktu yang ada untuk kadang dikenang disuatu waktu. Diikhlaskan semua rindu untuk orang yang kadangkala mengajarinya banyak cinta dan perjuangan. 

Menunggu teman lelakinya di rumah seharian mengajarkan bagaimana menjalani kodrat perempuan. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk berkarya. Ada banyak pelajaran yang bisa dijadikan pelajaran hidup termasuk dalam menunggu seharian.

Seringkali mencari kesibukan hanya untuk menyelamatkan waktu atau sekedar memburu sore lebih terasa cepat. Terkadang dunia berhasil membuat kita terasing di ruang sendiri. Seseorang yang lain bertanya pada dirinya, bagaimana bisa aku temukan hal menarik lain dalam ruang kosong yang hanya menjadi muasal sunyi? Sedang kita hanya menunggui waktu dengan segala sesak yang terisak.

Dijawabnya dengan lembut sambil membaca kaligrafi di tengah sore, tunggu saja, setelah ini pun segalanya selesai.

Tak lama dari selesainya siang dan terang, selesai juga tunggunya , di tempat tidur dalam pojok kamar yang juga menungguinya.

. . . . .




Mengurai Wacana Dalam Bendera HTI

Minggu ini seluruh media online maupun offline diramaikan dengan kasus viral atas pembakaran kalimat Tauhid dalam bendera HTI. Sebelum kita bedah wacana teks kaligrafi dalam bendera itu, kita telaah dulu apa definisi dari bendera itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bendera berarti sepotong kain atau kertas berbentuk segiempat atau segitiga yang diikatkan pada tiang atau kayu yang digunakan sebagai lambang atau tanda dari negara, perkumpulan atau badan tertentu. Viralnya pembakaran bendera ini mengalami pro dan kontra dari masyarakat. Tentu semuanya juga gak lepas dari provokasi dan penyampaian info yang salah dari pihak-pihak terntentu. Terlebih negara akan menghadapi pemilu 2019.

Menggunakan pendekatan New Historicism-nya Stephen Greenblatt, kita urai wacana Tauhid dalam bendera HTI. Adapun mekanismenya adalah, kita kaji bendera tersebut dalam perspektif Greenblatt yang kemudian saya representasikan bahasa dan wacana diďalamnya untuk mengerucut identifikasi terhadap bendera itu sendiri. 

Di jaman kenabian, tulisan kaligrafi dalam bendera HTI merupakan kalimat Tauhid yang dijadikan panji Rasulullah ketika berperang. Di jaman modern, bendera ini adopsi oleh HTI dengan memanipulasinya untuk dijadikan media dalam menarik masa yang besar. Pendistorsian makna terjadi dari kalimat Tauhid yang memiliki nilai sakral dan religiusitas tinggi kepada tujuan ideologis kelompok tertentu. Mereka sengaja membawa agama sebagai pembenaran dalam memperoleh kemudahan pengikut.

Bila kita ingat di jaman rezim NAZI, lambang dan bendera Swastika juga dipinjam karena tujuan ideologis orang-orang NAZI. Yang awalnya mengemban nilai kesucian berubah menjadi sebuah lambang horor kediktatoran rezim. Sebagaimana pernyataan Quinn di Blamires, "Swastika adalah simbol suci dalam agama Hindu dan Buddha. Banyak sekali ditemukan di kuil-kuil dan festival keagamaan India" (2006: 644).

Dari hal ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa kalimat Tauhid dalam bendera HTI sudah bergeser dari esensi aslinya. Saya pikir juga sah saja dengan pembakaran bendera tersebut yang dilakukan banser di Garut. Karena pada kenyataannya pun memang dianjurkan membakar beberapa mushaf Al-quran yang sobek atau menemukan di jalan. Itu dilakukan untuk mengurangi mudharatnya barangkali terkena injak.

Menyikapi kasus serupa atau kasus lain yang membawa atribut keagamaan, kita harus cerdas memadukan teks dan konteksnya. Berpikir jauh dan dalam juga perlu daripada berpikir hanya dipermukaan yang hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan memecah keutuhan bangsa. Dan mari kita belajar bersama.

Rainbow Grendul Nangka

Memasuki bulan Safar, biasanya kita banyak menemukan jenang semacam ini. Konon katanya, jenang ini bagian dari warisan leluhur. Jenang Grendul begitu namanya disebut. Seiring perkembangan jaman, jenang ini mengalami perubahan dalam penyajiannya. Dulu mungkin hanya warna cokelat saja dengan gula merah namun sekarang muncul dengan aneka warna sesuai selera. Pembuatan dan bahan-bahannya pun sederhana. Berikut bahan dan proses pembuatannya.

Bahan-bahan untuk 50 porsi:
1. 2 kg tepung ketan
2. 3 kg tepung beras
3. 4 buah kelapa
4. 1 kg gula pasir
5. Buah nangka sesuai takaran
6. 2 macam pewarna makanan
7. Garam secukupnya

Langkah-langkah:
1. Potong dadu buah nangka kecil-kecil.
2. Parut buah kelapa lalu peras ambil santannya, pisahkan dengan yang kental.
3. Campur tepung ketan dengan air panas dan beri pewarna makanan lalu bentuk bola-bola seperti kelereng setelah itu taburi tepung beras agar tidak lengket.
4. Rebus santan dengan gula lalu tambahkan potongan nangka dan bola-bola ketan. Aduk sampai mengapung.
5. Tambahkan adonan tepung beras hingga kental.
6. Buat adonan lagi diatasnya dengan tepung beras dan santan beri pewarna makanan sesuai selera.
7. Rebus santan yang diberi sedikit garam.
8. Tuang jenang ke dalam mangkok lalu tambahkan adonan tepung beras di tengah dan beri sedikit kuah santan.
9. Jenang siap dihidangkan (lebih enak dimakan dingin).


JEJAK WAKTU





HITAM

Semalam-malamnya gelap
Tak lebih dari pesan kosong 
Dari tengah jengkal dengkurmu
Meski kau tak cukup mahir mengetuk petang
Telah robek juga mimpi semalam
Sedang daun kering menyumpahimu dalam-dalam
Karena embun menjadikan rapuh
Dan,
Hanya saja kopi pahitmu terlalu hitam
Untuk aku nikmati sendiri
Aku memintamu untuk tak meninggalkanku sendirian
Pada semalam-malamnya gelap
Pada sebaru-barunya pagi

Jember, 29/10/2011

Puisi

Salam,

Barangkali ingkar telah memenuhi untuk pulang. Tetapi, manis buah rambutan depan rumah sudah cukup membawamu dari perantauan. Ada banyak riwayat yang jatuh di halaman bersama rindu serta wangi parfummu yang sempat hilang beberapa minggu. Lalu, anak perempuan yang dulu kau sering dengar tangisnya, sudah bisa kau tengok bening betisnya. Boleh jadi kau sibuk di kota depan kampung tapi, ingatan tetaplah bersemanyam di rahim rembulan. Maka dari itu, akan aku ceritakan;

         Hikayat Pohon Rambutan

Sebelas rumah, hampar halaman satu masjid sebagai pusara
Pohon rambutan tempat teduh sebagai pemujaan dari terik yang bergilir. Beberapa anak dengan hasrat kuat inginnya, merambàti manisnya yang masih ranum. Kadangkala usianya tak yakin pada rasa yang belum matang. Hingga perempuan berdaster memilih diam pada jatuhnya buah.
Adapula banyak kepergian ke masjid menitipkan kendaraan pada rimbunnya siang tepat dibawah peci hitamnya. Ada juga beberapa ayah dengan anak lelakinya menunjuk-nunjuk merahnya beriringan dengan geraknya yang seolah memanjat.
Hingga pada waktu yang diminta, bunga dan buahnya harus berhenti pada manis merah yang lain.
Perempuan muda telah menemukan lelaki di masanya. Dipangkas sebagian batang tubuhnya, melupa manis yang pernah ada. Menggantinya dengan teduhnya ruang penunggu tamu. Keramaian mulai reda dengan selesainya irama gendang.
Terganti hujan menyiram pohon, memanggil kembali cerita bersedia.
Dan bila lupa sudah bisa diterka, kuburkan saja manisnya dibawah pohon buahmu.

Jember, 30092018