Mengurai Wacana Dalam Bendera HTI

Minggu ini seluruh media online maupun offline diramaikan dengan kasus viral atas pembakaran kalimat Tauhid dalam bendera HTI. Sebelum kita bedah wacana teks kaligrafi dalam bendera itu, kita telaah dulu apa definisi dari bendera itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata bendera berarti sepotong kain atau kertas berbentuk segiempat atau segitiga yang diikatkan pada tiang atau kayu yang digunakan sebagai lambang atau tanda dari negara, perkumpulan atau badan tertentu. Viralnya pembakaran bendera ini mengalami pro dan kontra dari masyarakat. Tentu semuanya juga gak lepas dari provokasi dan penyampaian info yang salah dari pihak-pihak terntentu. Terlebih negara akan menghadapi pemilu 2019.

Menggunakan pendekatan New Historicism-nya Stephen Greenblatt, kita urai wacana Tauhid dalam bendera HTI. Adapun mekanismenya adalah, kita kaji bendera tersebut dalam perspektif Greenblatt yang kemudian saya representasikan bahasa dan wacana diďalamnya untuk mengerucut identifikasi terhadap bendera itu sendiri. 

Di jaman kenabian, tulisan kaligrafi dalam bendera HTI merupakan kalimat Tauhid yang dijadikan panji Rasulullah ketika berperang. Di jaman modern, bendera ini adopsi oleh HTI dengan memanipulasinya untuk dijadikan media dalam menarik masa yang besar. Pendistorsian makna terjadi dari kalimat Tauhid yang memiliki nilai sakral dan religiusitas tinggi kepada tujuan ideologis kelompok tertentu. Mereka sengaja membawa agama sebagai pembenaran dalam memperoleh kemudahan pengikut.

Bila kita ingat di jaman rezim NAZI, lambang dan bendera Swastika juga dipinjam karena tujuan ideologis orang-orang NAZI. Yang awalnya mengemban nilai kesucian berubah menjadi sebuah lambang horor kediktatoran rezim. Sebagaimana pernyataan Quinn di Blamires, "Swastika adalah simbol suci dalam agama Hindu dan Buddha. Banyak sekali ditemukan di kuil-kuil dan festival keagamaan India" (2006: 644).

Dari hal ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa kalimat Tauhid dalam bendera HTI sudah bergeser dari esensi aslinya. Saya pikir juga sah saja dengan pembakaran bendera tersebut yang dilakukan banser di Garut. Karena pada kenyataannya pun memang dianjurkan membakar beberapa mushaf Al-quran yang sobek atau menemukan di jalan. Itu dilakukan untuk mengurangi mudharatnya barangkali terkena injak.

Menyikapi kasus serupa atau kasus lain yang membawa atribut keagamaan, kita harus cerdas memadukan teks dan konteksnya. Berpikir jauh dan dalam juga perlu daripada berpikir hanya dipermukaan yang hanya akan menimbulkan kesalahpahaman dan memecah keutuhan bangsa. Dan mari kita belajar bersama.

0 komentar:

Posting Komentar